KABARMASA.COM, JAKARTA— Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap Thomas Trikasih Lembong terus menuai sorotan. Vonis 4 tahun 6 bulan penjara yang dijatuhkan pada mantan Menteri Perdagangan itu dinilai menyisakan pertanyaan mendasar: apakah seseorang dapat dinyatakan bersalah dalam perkara korupsi, jika tidak terbukti menerima aliran dana dan tidak pula menimbulkan kerugian negara secara nyata?
Dalam amar putusannya, hakim menyatakan bahwa Lembong telah melakukan penyalahgunaan kewenangan saat menjabat menteri pada 2015 karena memberikan izin impor kepada swasta tanpa melibatkan BUMN. Namun, fakta penting yang tak terbantahkan adalah: hingga akhir persidangan, tidak satu pun bukti menunjukkan bahwa Lembong menerima keuntungan pribadi dari keputusan itu.
Kerugian Negara Tak Terbukti, Tapi Vonis Tetap Dijatuhkan
Hal yang lebih mengundang keprihatinan adalah tidak adanya pembuktian kerugian negara dalam perkara ini. Sepanjang proses persidangan, tidak pernah dihadirkan audit resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menyatakan adanya kerugian negara akibat kebijakan impor tersebut.
Dalam hukum pidana korupsi, khususnya berdasarkan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, kerugian negara adalah unsur esensial. Jika tidak terbukti adanya kerugian negara secara aktual dan sah, maka unsur tindak pidana korupsi seharusnya dianggap tidak terpenuhi.
Reaksi Hukum dan Etika Publik
Saya Pikir, vonis ini lebih mencerminkan ketakutan prosedural daripada penegakan keadilan substantif, kita lihat dengan kesadaran, bahwa vonis terhadap Tom Lembong ini tentu saja adalah “preseden mengkhawatirkan dalam demokrasi hukum”.
“Kalau tidak ada kerugian negara, tidak ada aliran dana, dan tidak ada keuntungan pribadi—lantas apa dasar memenjarakan seseorang? Hukum pidana bukan tempat menebak niat atau mengadili prosedur tanpa bukti kerugian yg konkret tentunya ,” ujar Hamka Djalaludin Refra, 19 Juli 2025.
Hal serupa disampaikan pengamat kebijakan publik yang menyebut kasus ini sebagai bentuk “pengadilan terhadap kebijakan”, bukan tindak pidana.
Yurisprudensi Mendukung Pembebasan
Dalam berbagai putusan Mahkamah Agung sebelumnya, dinyatakan bahwa unsur kerugian negara wajib dibuktikan melalui laporan audit resmi, bukan melalui tafsir subjektif.
• Putusan MA No. 21K/Pid.Sus/2014: “Tanpa bukti kerugian negara yang sah dari BPK/BPKP, maka tidak bisa diterapkan Pasal 2 atau 3 UU Tipikor.”
• Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016: Menegaskan bahwa kerugian negara harus nyata (actual loss), bukan potensi atau dugaan.
Ke mana Arah Hukum Kita?
Kasus Tom Lembong telah membuka ruang diskusi luas tentang bagaimana hukum korupsi diberlakukan di Indonesia. Ketika pejabat publik dapat divonis hanya karena prosedur, bukan karena kerugian negara atau aliran dana, maka garis batas antara penegakan hukum dan kriminalisasi kebijakan menjadi semakin kabur.
Lembong sendiri menyatakan akan menempuh banding, sembari menegaskan bahwa kebijakan yang ia ambil ketika menjabat menteri adalah bentuk diskresi demi menjaga stabilitas pangan nasional.
“Saya tidak menerima satu rupiah pun. Saya hanya menjalankan tugas negara. Jika itu dianggap kejahatan, maka negara ini perlu meninjau ulang bagaimana memperlakukan pejabat yang bekerja dengan integritas,” katanya setelah sidang.
Pertanyaannya kini bukan hanya soal Lembong, tapi juga tentang masa depan pejabat-pejabat publik yang mencoba mengambil keputusan cepat dalam situasi krisis: Apakah mereka akan dilindungi oleh hukum—atau justru dikorbankan oleh prosedur? Pungkasnya.
No comments:
Post a Comment