Fenomena Aparat Mesum Sembunyi Dibalik Kata "Oknum"

KABARMASA.COM, JAKARTA- Istilah “oknum” belakangan ini menjadi sangat akrab di telinga publik, terutama ketika media melaporkan kasus kejahatan yang melibatkan aparat negara. Fenomena ini semakin marak, terutama dalam kasus kekerasan seksual yang pelakunya berasal dari institusi-institusi negara. Dalam praktiknya, istilah "oknum" digunakan untuk merujuk pada individu tertentu yang melakukan pelanggaran hukum atau etika, seakan-akan tindakan tersebut tidak mencerminkan institusi yang menaunginya. Padahal, strategi semacam ini merupakan bentuk dari politik bahasa yang justru memperkeruh upaya penegakan hukum yang adil.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “aparat” memiliki makna sebagai alat atau perkakas, namun secara kontekstual lebih merujuk pada badan pemerintahan, instansi pemerintah, atau alat negara, seperti aparatur sipil, militer, dan penegak hukum. Sedangkan kata “mesum” berarti tidak senonoh, tidak patut, atau cabul, yang lazim digunakan untuk mendeskripsikan tindakan tidak bermoral, khususnya dalam konteks seksual. Adapun kata “sembunyi” diartikan sebagai upaya menutupi atau menyembunyikan sesuatu yang buruk. Istilah “oknum” sendiri dalam KBBI memiliki arti netral dalam konteks keagamaan, namun dalam praktik sosial-politik sering dipakai untuk menyebut seseorang atau anasir dengan konotasi negatif, misalnya dalam frasa “oknum aparat yang bertindak sewenang-wenang.”

Penggunaan istilah "oknum" oleh media atau pejabat seringkali dimaksudkan untuk menjaga nama baik institusi dengan memisahkan pelaku dari lembaga yang menaunginya. Misalnya, dalam pernyataan “Ini murni kesalahan oknum, bukan institusi kepolisian,” tampak bahwa kata “oknum” digunakan untuk menghindari pertanggungjawaban institusional dan mengarahkan kesalahan semata-mata kepada individu.
Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ditegaskan bahwa:
“Hak asasi manusia harus benar-benar dihormati, dilindungi, dan ditegakkan, dan untuk itu pemerintah, aparatur negara, dan pejabat publik lainnya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjamin terselenggaranya penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia.”

Dengan demikian, aparat negara—baik itu aparat penegak hukum, pertahanan dan keamanan, pemerintahan, maupun legislatif—secara prinsipil memiliki peran sebagai pelindung rakyat, bukan justru menjadi pelaku pelanggaran terhadap hak-hak warga negara, khususnya perempuan dan kelompok rentan.
Sayangnya, dalam banyak kasus kekerasan seksual yang melibatkan aparat negara, istilah “oknum” justru digunakan untuk melindungi pelaku, bukan korban. Terjadi pembalikan logika yang mengkhawatirkan: identitas pelaku dilindungi di balik kata “oknum”, sementara identitas korban sering kali justru tersebar luas dan menjadi konsumsi publik. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip keadilan dan perlindungan korban.

Lebih jauh, penggunaan istilah “oknum” dalam konteks pelanggaran yang berulang oleh anggota suatu institusi menimbulkan pertanyaan besar: jika pelanggaran dilakukan oleh banyak anggota institusi, apakah masih layak disebut sebagai ulah ‘oknum’? Atau justru ini mengindikasikan adanya masalah sistemik di dalam tubuh institusi tersebut?
Sejak Indonesia merdeka, institusi negara dan aparaturnya mengalami berbagai fase reformasi struktural, kelembagaan, hingga regulatif. Aturan-aturan hukum semakin lengkap, standar prosedur semakin ketat, dan teknologi pendukung semakin canggih. Namun, perilaku aparat—terutama dalam hal kekerasan terhadap perempuan—masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Fakta menunjukkan bahwa meskipun kualitas kelembagaan meningkat, kasus kekerasan yang melibatkan aparat justru semakin banyak terjadi, seolah reformasi tidak menyentuh sisi etis dan kesadaran moral para individu di dalamnya.

Tiada gading yang tak retak, setiap manusia bisa melakukan kesalahan. Namun, jika kesalahan tersebut merugikan dan merenggut hak orang lain—terlebih dalam bentuk kekerasan seksual—maka hal itu adalah kejahatan yang harus diproses secara hukum. Dalam konteks ini, perlindungan terhadap institusi tidak boleh lebih diutamakan daripada keadilan bagi korban. Sudah saatnya kita berhenti membiarkan kata “oknum” menjadi tameng kekuasaan, dan mulai menuntut pertanggungjawaban institusional atas setiap kejahatan yang dilakukan oleh anggotanya.

Penulis: Sarah
Share:

No comments:

Post a Comment

Youtube Kabarmasa Media



Berita Terkini

Cari Berita

Label

Arsip Berita

Recent Posts