KABARMASA.COM,
JAKARTA - Humanisme dipahami sebagai sistem hubungan antar manusia. Konsepsi
Empat Sila dalam Pancasila menempatkan posisi manusia yang sangat strategis.
Nilai
tertinggi setelah Nilai Ketuhanan dari semua tata kehidupan sosial, ekonomi,
hukum, politik, pertahanan, budaya bahkan ilmu pengetahuan adalah manusia itu
sendiri.
Humanisme
sebagai amanat sila-sila dalam Pancasila tidak lain adalah membangun kehidupan
bernegara yang hubungan antarmanusia dilandasi atas kerjasama yang bebas dan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan yang baik bersama-sama dalam suatu negara
yang merdeka dan berdaulat.
Penelitian
ini dilakukan untuk memberikan gambaran objektif tentang keadaan sebenarnya
dari objek yang diteliti.
Penelitian
ini menggunakan teknik pengumpulan data yang meliputi observasi, wawancara dan
Focus Group Discussion (FGD).
Kemanusiaan
adalah konsep alam yang melekat pada setiap individu manusia, evolusi peradaban
manusia telah melahirkan konsep turunan dari makna dan sifat kemanusiaan
sebagai konsekuensi dari hubungan manusia yang dipengaruhi oleh fakta kompleks
yang memunculkan konsep konfliktual. dan aktualisasi kemanusiaan.
Pada
kenyataannya konsep humanisme legalistik belum sepenuhnya mampu mencegah perang
dan konflik, setidaknya konsep humanisme legalistik merupakan satu-satunya
norma yang melindungi banyak negara, bangsa, komunitas dan individu dari
persoalan kemanusiaan yang lebih luas.
Humanisme Legalistik-Perang-Konflik
1. Perkenalan
Pertama
kali dipelajari tentang kemanusiaan ketika diperkenalkan oleh para guru sekolah
dasar tentang Pancasila, ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
dirumuskan oleh pendiri Republik Indonesia, Bung Karno dkk, yang kemudian
dituangkan dalam Pembukaan kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia.
Masalah
kemanusiaan dalam dasar negara berbunyi “Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab” yang dalam pelaksanaannya sebagai warga negara wajib
menghormati sesama manusia tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan
dimana setiap warga negara wajib menghormati kemanusiaan orang lain menurut
hukum dan hukum. (Anwar, Khoirul 2021).
Pelajaran
kedua tentunya saya dapatkan di Akademi Kepolisian yang memberikan saya
pelajaran dan doktrin kepolisian untuk menghormati kemanusiaan dan membantu
mereka yang lemah.
Kemudian
saya mendapatkan konsep dasar kemanusiaan dalam nilai-nilai yang saya pelajari
dari agama dan budaya jawa serta budaya yang ada dalam alam kehidupan bangsa
Indonesia yang didalamnya terkandung tata krama budaya dan agama yang saling
melengkapi satu sama lain sebagai jalan kehidupan.
Dalam
perjalanan ini, saya berkesempatan mengabdi di daerah-daerah yang mengalami
konflik dan peperangan di dalam dan luar negeri yang meninggalkan jejak maut;
kehancuran sebuah kota; hilangnya harta benda dan hak untuk hidup aman dan
damai serta hilangnya generasi keluarga.
Selain
wilayah perang dan konflik, penugasan kerja multikultural dan kosmopolitan yang
tidak lepas dari perkelahian antar kelompok atas dasar identitas agama dan
etika meliputi kejahatan atau bencana alam dan bencana mekanis yang
bersinggungan dengan persoalan kemanusiaan seperti pembunuhan, perkosaan,
penjualan barang organ tubuh manusia, bencana alam yang merenggut nyawa manusia
dan harta benda.
Juga
memberikan gambaran tentang spektrum persoalan kemanusiaan lain yang sebenarnya
terjadi di lingkungan sosial kita yang menjadi obyek kesibukan aparatur
pemerintah, aparat penegak hukum, aparat keamanan dan masyarakat.
Peristiwa-peristiwa
tersebut tentunya sangat relevan dengan isu kemanusiaan yang sedang kita
bicarakan bahkan telah didiskusikan oleh banyak orang sejak ratusan tahun yang
lalu, untuk memahami isu kemanusiaan dan kemanusiaan yang menjadi ancaman bagi
kehidupan dan peradaban manusia.
Namun,
jika dikaitkan dengan tema hari ini, tentunya pengalaman saya menjadi bagian
dari satuan tugas polisi internasional dibawah payung Perserikatan
Bangsa-Bangsa di Bosnia dan Herzegovina (Bekas Yugoslavia) pada tahun 1998–1999;
Bagian
dari Tim Pemantau TriPartit Perjanjian Gencatan Senjata Antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Aceh Dibawah Fasilitasi Hendry
Dunand Center Finlandia Tahun 2002–2003, dan
Penanganan
Gerakan Terorisme di Poso Sulawesi Tengah Tahun 2011–2012 memberikan saya
gambaran tentang arti kemanusiaan yang berbeda dan berbeda. tidak linier dengan
doktrin dan pengetahuan awal saya tentang makna dan praktik kemanusiaan itu
sendiri.
Termasuk
dalam tulisan ini, mengharuskan saya untuk berpikir secara mendalam untuk
memastikan bahwa pandangan saya tentang kemanusiaan dalam konteks perang dan
konflik secara relatif dapat memberikan gambaran tentang realitas konsep
kemanusiaan yang kompleks atau multi-interpretatif dan memberikan kesimpulan yang
rasional dan progresif. dan rekomendasi.
Dalam
ruang perang dan konflik, misalnya, membunuh atau melakukan tindakan
anti-kemanusiaan terhadap lawan mereka adalah sebuah prestasi dan kehormatan
dengan semua narasi pembenaran bahwa pelaku kemudian dalam sejarah aktor yang
melakukan kekerasan struktural dan berlebihan tidak sedikit dinyatakan sebagai
pahlawan yang dianugerahi medali kehormatan dan wasiat. diingat. dalam sejarah
sebagai seorang pejuang, terutama bagi mereka yang memenangkan perang.
Sebaliknya
bagi pihak yang kalah, soal kematian akibat perang menyebabkan seseorang atau
negara menderita penderitaan yang kemudian dinyatakan sebagai musuh kemanusiaan
dengan label penjahat perang yang harus mendapat hukuman dan sanksi sosial.
Yang
dikucilkan dari komunitas sosial dan paling tidak dinyatakan dalam sejarah
sebagai kejahatan kemanusiaan.
2. Metode
Penelitian
ini bersifat deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif bertujuan
untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat, tentang fakta
dan sifat-sifat objek tertentu.
Penelitian
ini dilakukan untuk memberikan gambaran objektif tentang keadaan sebenarnya
dari objek yang diteliti.
Penelitian
ini menggunakan teknik pengumpulan data yang meliputi observasi, wawancara dan
Focus Group Discussion (FGD). (Mohajan 2018).
Pengamatan
yang dilakukan berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis selama bertugas di
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
3. Hasil dan Pembahasan
Apa
pengalaman yang tergambar dari peristiwa di Bosnia, Aceh dan Poso kemudian pada
kenyataannya merupakan pengulangan perjalanan dan sejarah konflik yang ada
dalam perjalanan peradaban dunia.
Peristiwa
Kolonialisme, Perang Dunia I dan Perang Dunia II termasuk dalam perang melawan
terorisme dan konflik berbasis identitas kelompok di dunia, tentunya
mendokumentasikan realitas empat sejarah bagaimana umat manusia
dikonseptualisasikan dan dimaknai berbeda dari banyak pihak yang berada di
ruang konflik yang multitafsir, dan beberapa praktik.
Dalam
pergulatan konseptual untuk memahami pengalaman di atas sekaligus menjawab
pertanyaan tema pembahasan hari ini.
Akhirnya
saya mendapatkan jawaban yang mendekati apa yang saya pikirkan tentang
kemanusiaan dalam kaitannya dengan perang dan konflik, sebagai jawaban atas
pertanyaan standar dari proses yang mendalam, mengapa?
Dalam
buku yang ditulis oleh Yuah Noval Harri tentang Homo sapiens, saudara laki-laki
Yuvah, Noah Harari, menyatakan bahwa “semua humanis adalah pemuja
kemanusiaan tetapi mereka tidak setuju dengan definisinya”. (Robert
2020)
Para
penganut paham humanisme terbagi menjadi 3 (tiga) golongan sebagai berikut:
1. Sekte
Humanisme Liberal
Kemanusiaan bersifat individualistis dan bersemayam dalam diri setiap individu
manusia. Dengan perintah tertinggi adalah melindungi hakekat dan kebebasan
setiap individu.
2. Sekte
Humanisme Sosialis
Kemanusiaan bersifat kolektif dan berada dalam spesies manusia secara
keseluruhan. Perintah tertinggi adalah melindungi kesetaraan spesies Homo
sapiens.
3. Sekte
Humanisme Evolusioner
Umat manusia adalah spesies yang dapat bermutasi dimana manusia dapat
diturunkan menjadi submanusia atau berevolusi menjadi manusia super.
Dengan
komando tertinggi adalah melindungi umat manusia dari kemerosotan menjadi
submanusia dan mendorong evolusi menjadi manusia super.
Dalam
penjelasannya lebih lanjut, sekte humanisme liberal dan sekte humanisme
sosialis dibangun diatas landasan monoteistik, dimana kita mengakui gagasan
bahwa semua manusia adalah sama, termasuk semua jiwa sama di hadapan Tuhan.
(Pin 2021).
Bagaimana
dengan penganut sekte humanisme evolusioner yang dipahami dengan baik dan
dioperasionalkan oleh para pengagum NAZI.
Kaum
humanis evolusioner percaya bahwa manusia bukanlah sesuatu yang universal dan
abadi, melainkan spesies yang dapat berubah, baik berevolusi maupun merosot.
Manusia
dapat berevolusi menjadi manusia super atau merosot menjadi submanusia.
Dalam
praktiknya, konsep Humanisme Evolusioner juga merangsang perang atas nama
keunggulan ras Arya atas ras lain yang dianggap lebih rendah dari ras Arya
sebagai salah satu ras manusia yang berpotensi menjadi manusia super.
Hal ini
juga menunjukkan kepada kita bahwa perbedaan interpretasi sekte-sekte humanisme
juga menghasilkan perang dan peristiwa kemanusiaan, dimana Hitler dan Nazi-nya
percaya bahwa konsep humanisme evolusioner adalah konsep kemanusiaan yang
paling tepat dibandingkan dengan konsep humanisme liberal dan sosial.
Dalam
perjalanannya pasca Perang Dunia II yang ditandai dengan peristiwa kemanusiaan
di Eropa dan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagazaki, dunia yang telah
lama mengalami banyak peristiwa akibat penjajahan dan perang antar bangsa
sepakat untuk menghentikan perang dan membangun dunia baru dengan sistem hukum
internasional.
Termasuk
hukum humaniter yang bertujuan untuk membangun dunia baru yang menegakkan hukum
humaniter liberal dan sosial yang diatur dalam rumusan hukum internasional,
yang menurut saya adalah lahirnya aliran humanisme baru, yaitu humanisme
legalistik, yang mengatur perilaku manusia dalam kondisi damai dan perang dalam
norma internasional.
Namun
lahirnya sekte humanisme legalistik atau lahirnya rejim hukum internasional
serta keberadaan suprastruktur dan infrastruktur hukumnya juga tidak mampu
mencegah perang dan konflik serta bencana kemanusiaan lainnya, seperti yang
terjadi di Afganistan, Irak dan Suriah dimana Amerika Serikat dan sekutunya
terlibat didalamnya atau di negara-negara lain.
Perang
antara Rusia dan Ukraina di Eropa yang sebenarnya menjadi pusat perspektif
tumbuh dan berkembangnya hukum HAM, atau di Asia dan Afrika yang pada
kenyataannya melahirkan perdebatan tentang benar dan salah dari perspektif
kemanusiaan.
Demikian
pula persoalan kemanusiaan dan peradaban dibanyak bangsa dan negara menghadapi
persoalan domestik dengan adanya perang dan konflik akibat gerakan separatisme,
terorisme dan konflik komunal antar kelompok, yang jika kita pelajari jargonnya
tidak lepas dari konsepsi humanisme liberal tentang hak.
Individu; humanisme
sosial tentang hak-hak kelompok dan humanisme evolusioner tentang konsep
manusia super, sebagai bukti bahwa konsep dan aktualisasi kemanusiaan dipahami
dan dipraktikkan dalam banyak wajah yang menimbulkan perdebatan tanpa akhir.
4. Kesimpulan
Konsep
kemanusiaan dipraktikkan dalam banyak hal. Meskipun kemanusiaan merupakan
konsep kodrati yang melekat pada setiap individu manusia, namun evolusi
peradaban manusia telah melahirkan konsep turunan dari makna dan hakikat
kemanusiaan sebagai konsekuensi hubungan manusia yang dipengaruhi oleh
fakta-fakta kompleks yang melahirkan konsep konfliktual dan aktualisasi
kemanusiaan.
Konsep
humanisme legalistik yang ada dalam sistem hukum internasional merupakan konsep
yang disusun dan diciptakan untuk menjembatani konflik antara 3 (tiga) aliran
konsep humanisme yang ada dalam perjalanan peradaban manusia.
Meskipun
pada kenyataannya konsep humanisme legalistik belum sepenuhnya mampu mencegah
perang dan konflik, setidaknya konsep humanisme legalistik merupakan
satu-satunya norma yang melindungi banyak negara, bangsa, komunitas, dan
individu dari masalah kemanusiaan yang lebih luas.***
*Pancasila
Village, Multicultural Education and Moderation of Diversity in Indonesia
Tulisan
asli berjudul ‘Legalistic Humanism Between Conflict and Actualization
of Humanity Concept in the History of War and Conflict’
by; Andry Wibowo
Intelligence Agency, Yogyakarta, Indonesia
Yogyakarta, Desember 2022