Amsir Salah Renoat: Israel Gegabah Salah Pilih Lawan

KABARMASA.COM, JAKARTA- Perang yang terjadi beberapa hari terakhir, antara Republik Islam Iran dan Israel bukanlah perang biasa, saat negeri para Mullah sedang tidak ingin bermusuhan, mencari masalah dengan negara manapun; Isreal justeru datang dengan penuh percaya diri untuk mengganggu tertib sosial di negeri para Mullah. Jelas, ini adalah sebuah langkah konyol yang mengonfirmasi kebodohan Israel atas rasa percaya diri dan superioritas yang di banggakan-banggakan selama ini; Israel kecolongan, salah memilih lawan tanding, Israel sedang membangun jalan mereka sendiri menuju ambang kehancuran, persis seperti apa yang mereka lakukan di Palestina, mereka harus siap menerima segela konsekuensi dari apa yang telah mereka perbuat, ingat; yang mulai mencari masalah terlebih dahulu adalah Israel, bukan Iran. 

Ini adalah gempa geopolitik, yang secara nyata akan merobek seluruh asumsi Barat tentang superioritas militer dan kontrol kawasan. Iron Dome, Arrow, bahkan THAAD tak mampu membendung rudal-rudal hipersonik Iran. Fasilitas nuklir Israel yang selama ini dianggap suci dan tak tersentuh kini jadi target serangan langsung. Belum pernah terjadi dalam sejarah berdirinya Israel, Tel Aviv dan Dimona jadi zona bahaya, tak beda dari Gaza yang selama ini mereka gempur tanpa ampun. Dalam kerangka "Papan Catur Besar" karya Brzezinski, ini adalah saat di mana bidak yang selama ini digunakan oleh kekuatan Barat untuk menekan Timur akhirnya bangkit, dan justru menyerang ke jantung catur imperium itu sendiri.

Kehancuran Israel bukan lagi sebatas retorika ideologis. Fakta lapangan menunjukkannya. Kota-kota lumpuh, ekonomi panik, kekuatan udara terancam, dan, yang paling fatal, kepercayaan internal mulai goyah. Rezim yang selama ini berdiri di atas mitos ketaktersentuhan kini terpaksa meneguk kenyataan pahit: tidak ada lagi tempat aman di tanah yang mereka rebut dengan kekerasan. Rakyat Israel kini merasakan apa yang selama ini mereka abaikan dari jeritan Palestina: rasa takut, rasa terkurung, dan rasa ditinggalkan dunia. Sejarah sedang dibalikkan.

John J. Mearsheimer dalam "Tragedi Politik Kekuatan Besar", menjelaskan bahwa negara-negara besar bertindak ofensif bukan karena jahat, tetapi karena sistem internasional yang anarkis memaksa mereka untuk melindungi diri dengan cara menguasai. Israel selama ini bermain dalam logika itu—berambisi menjadi hegemon regional, mendorong proxy wars, dan menyerang siapa saja yang menghalangi proyek Israel Raya. Tapi dalam permainan kekuasaan yang brutal ini, Israel lupa satu hal penting: mereka bukan satu-satunya aktor. Dan kini, mereka berhadapan langsung dengan negara yang telah ditempa oleh embargo, perang, dan pengkhianatan selama hampir lima dekade—Iran yang tidak hanya punya rudal, tapi juga punya filosofi bertahan dan menyerang dengan visi jangka panjang.

Iran tak sedang bermain-main. Dalam setiap serangan, mereka menunjukkan presisi yang bukan main. Target mereka bukan sekadar simbol, tapi jantung vital militer dan politik Israel. Ini bukan serangan reaktif. Ini adalah strategi jangka panjang yang dirancang dengan matang, sebagai respons terhadap agresi dan proyek dominasi. Iran tidak ingin eksistensi Israel dipangkas sebagian. Iran ingin Israel tak lagi ada. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah kontemporer, tujuan itu tidak terdengar utopis. Ia terdengar sangat realistis.

Susan Sontag mengingatkan kita dalam Regarding the Pain of Others, bahwa penderitaan bisa dibungkam melalui narasi. Tapi kini narasi itu sendiri tidak mampu menutup suara sirine di Tel Aviv. Narasi tentang “demokrasi satu-satunya di Timur Tengah” tak lagi menyentuh nurani siapa pun ketika gambar-gambar kehancuran Israel tersebar. Dunia, bahkan yang pro-Israel sekalipun, mulai bergeming dalam ketidakpastian. Tak ada yang menyangka bahwa negeri yang dulu mendikte Washington kini harus mengirim proposal ke Trump agar diselamatkan. Tapi bahkan Trump, yang biasanya gemar dengan provokasi, tahu betapa bahayanya menyentuh pemimpin tertinggi Iran. Permintaan untuk membunuh Ayatollah Khamenei ditolak. Dunia tahu: membunuh pemimpin spiritual Iran bukan hanya membuka babak baru perang, tapi menyegel nasib Israel untuk dihancurkan sepenuhnya.

Israel saat ini hidup dengan napas palsu. Sejumlah negara Arab yang selama ini berpura-pura netral ternyata membantu Israel mencegat rudal Iran. Tapi bahkan itu tidak cukup. Arab Saudi, Qatar, dan Jordania dilaporkan memberikan informasi lintasan rudal kepada Israel. Ini bukan solidaritas, ini kepanikan kolektif. Mereka tahu, jika Iran menang, maka seluruh proyek kolaboratif mereka dengan Israel akan runtuh. Tapi bantuan semacam itu hanya menunda—bukan menghentikan—kehancuran Israel. Sebab rudal Iran bukan hanya benda logam yang terbang, ia adalah simbol bahwa narasi monopoli kekuasaan Israel di kawasan telah tamat.

Banyak orang, terutama di Barat, masih beranggapan bahwa kekuatan militer adalah penentu segalanya. Tapi Iran membalik asumsi itu. Ketika kekuatan rudal dipadukan dengan daya tahan ideologis dan kesabaran sejarah, hasilnya adalah kekuatan yang tidak bisa dilumpuhkan dengan invasi biasa. Brzezinski memperingatkan dalam "Papan Catur Besar", bahwa siapapun yang kehilangan kendali atas Asia Tengah dan Timur Tengah akan kehilangan pijakan globalnya. Dan Israel sedang kehilangan itu.

Maka kini kita sampai pada pertanyaan kunci: bagaimana masa depan Timur Tengah? Jawabannya hanya satu: masa depan kawasan tidak akan melibatkan Israel sebagai kekuatan hegemonik lagi. Mungkin bahkan tidak melibatkan Israel sebagai negara. Rakyat dunia, jika benar-benar peduli pada keadilan dan kemanusiaan, harus mulai menyiapkan narasi pasca-Israel. Narasi yang membebaskan Palestina sepenuhnya, yang memulihkan hubungan regional yang selama ini dikotori normalisasi penuh kebohongan, dan yang akhirnya memungkinkan Timur Tengah menjadi kawasan yang tak lagi ditentukan oleh rudal AS atau veto PBB.

Israel sedang roboh. Bukan karena semata rudal, tapi karena bobroknya proyek kolonial modern yang sudah tak bisa dibela secara moral maupun praktis. Iran telah membuka gerbang sejarah baru, dan kini, yang tersisa hanyalah bagaimana dunia memilih berdiri: di sisi kehancuran yang sedang runtuh, atau di sisi kebangkitan yang sedang ditulis dengan darah, keberanian, dan keteguhan hati. Karena pada akhirnya, sebagaimana dicatat dalam semua teori geopolitik: tidak ada kekuasaan yang bisa bertahan jika seluruh dunia mulai melihatnya sebagai aib yang harus dihentikan. Dan hari ini, Israel telah menjadi aib itu.
Share:

No comments:

Post a Comment

Youtube Kabarmasa Media



Berita Terkini

Cari Berita

Label

Arsip Berita

Recent Posts