Aliansi Mahasiswa Nusa Tenggara Barat Se-Jakarta Menyatakan Sikap Penolakan Terhadap PON NTB 2028


KABARMASA.COM, JAKARTA- Pemerintah telah menetapkan Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) XXII pada tahun 2028. Bagi sebagian orang, ini disebut sebagai kesempatan emas untuk mempromosikan NTB di mata nasional. 

"Namun bagi kami, masyarakat sipil khususnya aliansi mahasiswa Nusa Tenggara Barat Se-Jakarta yang setiap hari menyaksikan denyut kehidupan rakyat kecil, PON bukanlah solusi melainkan masalah baru yang dikemas dalam bungkusan semu "Kebanggaan Daerah". Hari ini kami menyatakan dengan tegas, TOLAK PON NTB 2028. ujar, Aliansi Mahasiswa Nusa Tenggara Barat se-Jakarta", (11/06/2025).

Lebih lanjut mereka menilai bahwa ada ketimpangan serius yang harus lebih diprioritaskan.

"PON bukan sekadar pesta olahraga, Ia adalah agenda negara yang memerlukan investasi besar-besaran dalam pembangunan infrastruktur, akomodasi, transportasi, keamanan, dan berbagai fasilitas pendukung lainnya. Anggaran yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan event ini diperkirakan mencapai triliunan rupiah. Sementara itu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat NTB masih bergulat dengan persoalan yang lebih mendasar seperti. Tingkat kemiskinan yang tinggi, Krisis air bersih di berbagai wilayah akibat perubahan iklim dan buruknya pengelolaan sumber daya air, Pendidikan yang tidak merata sekolah rusak dan kurangnya guru berkualitas, Fasilitas kesehatan minim serta mahalnya biaya pengobatan". Imbuhnya

Pembangunan PON, Penggusuran dan Perampasan Ruang Hidup
Berdasarkan pengalaman dari penyelenggaraan PON dan event-event besar lainnya di berbagai daerah, pembangunan stadion, arena olahraga, hotel, dan jalan tol selalu membawa dampak buruk bagi masyarakat lokal. Dalam banyak kasus Lahan warga digusur secara paksa,Ruang hidup masyarakat adat dan petani terancam, Lingkungan sekitar dirusak untuk membuka jalan bagi kemajuan investor dan elite kekuasaan. Kami tidak ingin NTB menjadi ladang baru bagi oligarki properti dan korporasi yang akan membangun hotel-hotel megah di atas tanah yang dirampas dari rakyat.

Salah satu argumen utama yang terus didengungkan oleh para pendukung beserta dengan Jajaran pemerintahan PON adalah penyerapan tenaga kerja dan peluang ekonomi lokal, Tapi mari kita telusuri lebih jauh. Siapa yang sebenarnya mendapat pekerjaan? Dan pekerjaan seperti apa?. Dalam banyak pengalaman penyelenggaraan event besar di Indonesia, tenaga kerja lokal hanya dilibatkan sebagai buruh kasar berupah murah, tanpa jaminan kerja jangka panjang. Sementara posisi manajerial, teknis, dan pengelolaan proyek sering kali diisi oleh tenaga kerja dari luar daerah atau bahkan luar negeri, Lapangan kerja yang dijanjikan hanya bersifat sementara, tidak berkelanjutan dan tidak berdampak langsung pada pengentasan kemiskinan Setelah event selesai rakyat kembali ke realitas lama tanpa pekerjaan tetap, tanpa keterampilan baru, dan tanpa perlindungan sosial.

Lebih dari itu Para pelaku UMKM lokal sering tersingkir karena kalah bersaing dengan vendor besar yang sudah diatur melalui tender, Pengusaha lokal hanya menjadi penonton ketika jaringan hotel, katering, dan transportasi dikuasai oleh perusahaan luar daerah. Alih-alih memperkuat ekonomi rakyat, PON justru membuka ruang lebih lebar untuk monopoli ekonomi dan liberalisasi sektor publik.

Kami tidak bisa diam melihat bagaimana PON 2028 terus dipromosikan oleh Gubernur M. Lalu Iqbal sebagai simbol  kemajuan dan kepercayaan nasional terhadap NTB. Narasi itu terdengar megah di podium, namun hampa di akar rumput. Sebagai pemimpin daerah, Gubernur seharusnya lebih peka terhadap kondisi riil masyarakat NTB, Ia seharusnya mendengarkan suara petani yang gagal panen karena kekeringan, mendengar keluhan buruh yang masih menerima upah murah, serta melihat anak-anak di pelosok yang belajar di sekolah reyot tanpa fasilitas memadai. Namun yang terjadi justru sebaliknya Alih-alih memprioritaskan kebutuhan dasar rakyat, Gubernur lebih memilih mendorong proyek-proyek seremonial yang mahal dan elitis, seperti PON, Sikap ini menunjukkan jauh dari keberpihakan terhadap keadilan sosial dan malah memantapkan posisi sebagai pemimpin yang berorientasi citra, bukan substansi.

Lebih ironis lagi, ketika masyarakat mulai menyampaikan kritik terhadap PON, suara mereka tidak mendapat ruang. Bahkan beberapa aktivis yang menyuarakan penolakan disebut tidak cinta daerah atau menghambat pembangunan. Ini adalah retorika lama yang digunakan untuk membungkam oposisi. Kami ingin mengingatkan Pak Gubernur Kemajuan tidak diukur dari seberapa besar stadion dibangun, tetapi dari seberapa banyak rakyat yang sejahtera. Kepercayaan nasional bukan dibuktikan dengan seremoni, tapi dengan keberanian melindungi rakyatnya dari eksploitasi dan ketimpangan. Jika Gubernur NTB tetap bersikeras mendorong PON tanpa membuka ruang dialog dengan publik, maka ia sedang menempatkan dirinya di sisi elit, bukan rakyat.

Rakyat Tidak Pernah Diajak Bicara
Satu hal yang paling menyakitkan, keputusan menjadi tuan rumah PON diambil tanpa partisipasi rakyat. Tidak ada forum rakyat, tidak ada diskusi publik, tidak ada ruang dengar bagi masyarakat adat, petani, nelayan, mahasiswa, dan perempuan. Ini adalah bentuk demokrasi semu dimana keputusan besar diambil oleh segelintir elite, lalu rakyat dipaksa menerima.

"Sehingga, kami dari Aliansi Mahasiswa Nusa Tenggara Barat Se-Jakarta Menolak PON NTB 2028, Tolak PON NTB! Bangun NTB dengan keadilan, bukan dengan kebangaan semu" pungkasnya.

Share:

No comments:

Post a Comment

Youtube Kabarmasa Media



Berita Terkini

Cari Berita

Label

Arsip Berita

Recent Posts