Jejak Gelap Di Balik Kursi DPRD: Dugaan Nepotisme P3K Dan Krisis Moral Di Lembata

KABARMASA.COM, JAKARTA- Lembata hari ini sedang diuji atas kerapuhan moral dan integritas para pemimpinnya. Ketika rakyat bekerja dengan peluh dan pengabdian demi menghidupi keluarga, sebagian pejabat publik justru diduga bermain di ruang-ruang gelap kekuasaan memanfaatkan jabatan, partai, dan relasi keluarga untuk mengamankan kepentingan pribadi.

Isu yang mencuat beberapa waktu terakhir tentang dugaan penyalahgunaan wewenang dalam proses pengangkatan tenaga Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K), serta dugaan pelanggaran etika oleh salah satu pimpinan DPRD Kabupaten Lembata, Frans Gewura, yang telah melukai rasa keadilan dan kehormatan masyarakat.

Ia juga diketahui menjabat sebagai Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Lembata sekaligus Ketua DPC Partai PDI Perjuangan Kabupaten Lembata.

DPRD dan Partai Diminta Tegas, Bukan Diam
Mahasiswa Lembata di Jakarta dan Yogyakarta mempertanyakan sikap diam DPRD, Pemerintah Kabupaten Lembata, serta partai politik yang menaungi pejabat bersangkutan. 

Sampai saat ini, belum ada klarifikasi resmi ataupun langkah etik dari lembaga terkait.
“Apakah integritas dan tanggung jawab moral telah mati di meja kekuasaan?” tanya salah satu pernyataan sikap mahasiswa.

Para Anggota DPRD seakan-akan ingin bersekongkol untuk menutupi persoalan yang tidak saja melanggar hukum tapi juga moral dan juga budaya. Padahal, dalam budaya Lamaholot, malu adalah fondasi kehormatan. Ketika seorang pejabat publik kehilangan rasa malu dan menutup diri dari pertanggungjawaban, maka yang tercoreng bukan hanya dirinya, tetapi nama baik seluruh rakyat Lembata.  

Dugaan Nepotisme dalam Pengangkatan P3K
Sorotan publik paling tajam datang dari dugaan nepotisme dan penyalahgunaan kewenangan dalam seleksi P3K. Banyak tenaga kesehatan, guru, dan aparat desa di Kabupaten Lembata yang telah mengabdi bertahun-tahun tanpa diangkat sebagai P3K, sementara muncul nama-nama yang memiliki kedekatan keluarga dengan pejabat publik yang langsung diakomodasi.

Rumpun Mahasiswa Lamaholot Yogyakarta dan Aliansi Mahasiswa Jakarta menilai, ini bukan sekadar masalah administrasi, melainkan pengkhianatan terhadap prinsip keadilan dan meritokrasi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). 

Pasal 9 UU ASN menegaskan bahwa setiap ASN diangkat berdasarkan kompetensi, kualifikasi, dan kinerja, bukan karena hubungan kekeluargaan atau kepentingan politik.

Bahkan PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS dan PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK menegaskan bahwa seleksi harus dilakukan secara objektif dan transparan.

“Ketika tenaga kesehatan desa yang sudah mengabdi lebih dari sepuluh tahun tidak diangkat, sementara keluarga pejabat justru diakomodasi, maka ini adalah bentuk ketidakadilan struktural yang nyata,” tegas perwakilan mahasiswa Lembata di Jakarta. (04/11/2025)
Sorotan Publik di Media Sosial
Gelombang protes masyarakat dan mahasiswa semakin menguat setelah beredar luas di media sosial berbagai tangkapan layar dan testimoni publik terkait proses rekrutmen P3K dan karyawan BUMD di Lembata.

Publik menyoroti bahwa dalam perekrutan di PDAM Kabupaten Lembata, terdapat dugaan intervensi politik. Informasi yang beredar menyebutkan bahwa perekrutan tersebut hanya membuka satu formasi, namun prosesnya diduga tidak sesuai mekanisme objektif memunculkan pertanyaan publik soal keadilan dan transparansi.

Mahasiswa menilai, persoalan ini memperlihatkan adanya cacat prosedur dalam tata kelola rekrutmen daerah, yang berpotensi melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 118 Tahun 2018 tentang Badan Usaha Milik Daerah, yang mengatur bahwa setiap rekrutmen karyawan BUMD harus melalui mekanisme seleksi profesional dan bebas intervensi politik.

Budaya Malu dan Etika Publik
Apa yang terjadi di Lembata bukan hanya pelanggaran teknis, tetapi krisis etika dan budaya malu. Budaya Lamaholot mengenal prinsip “maka nekan leu ata” — pemimpin harus menjaga muka rakyatnya. Ketika pejabat publik kehilangan kepekaan moral, maka kehormatan masyarakat ikut ternoda.

Oleh karena itu, mahasiswa sebagai representasi rakyat khususnya Kabupaten Lembata menyerukan agar pejabat terkait berani memberikan klarifikasi publik, bukan sekadar berlindung di balik jabatan dan partai. Jika memang tidak bersalah, rakyat berhak mendengar penjelasan terbuka; jika ada pelanggaran etik, maka mekanisme partai dan lembaga harus bekerja untuk memperbaikinya Marwah yangtelah dirusak oknum yang tidak bertanggungjawab.

Dasar Hukum dan Desakan Resmi
Rumpun Mahasiswa Lamaholot Yogyakarta dan Aliansi Mahasiswa Jakarta juga menegaskan dasar hukum desakan mereka:

1. UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN – mengatur prinsip merit dan bebas intervensi politik dalam rekrutmen ASN/P3K.

2. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan – melarang penyalahgunaan wewenang (Pasal 17 ayat 2).

3. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN – mewajibkan pejabat publik menjaga integritas dan moralitas.

4. UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik menegaskan kewajiban partai menjaga etika dan moral kadernya.

Desakan Rumpun Mahasiswa Lamaholot & Aliansi Mahasiswa Jakarta

Rumpun Mahasiswa Lamaholot Yogyakarta dan Aliansi Mahasiswa Jakarta dalam pernyataan bersama menegaskan:

“Kami mendesak DPD dan DPP Partai PDI Perjuangan untuk mengambil langkah tegas terhadap kader yang diduga mencederai kepercayaan publik.

Kami juga mendesak DPRD Kabupaten Lembata membentuk panitia etik dan menggelar sidang terbuka atas persoalan ini.

Serta Kami juga menuntut Pemkab dan BKPSDM membuka data dan proses seleksi P3K secara transparan, serta mengevaluasi seluruh mekanisme rekrutmen di PDAM dan instansi daerah lainnya.”

Mereka menegaskan, langkah ini bukan serangan personal, melainkan gerakan moral rakyat untuk mengembalikan marwah kepemimpinan dan budaya malu di tanah Lembata.

“Kami tidak sedang berperang dengan individu, kami sedang berjuang melawan sistem yang membiarkan ketidakadilan dan kemerosotan moral,”

ujar pernyataan penutup dari Perwakilan Rumpun Mahasiswa Lamaholot Yogyakarta dan Aliansi Mahasiswa Jakarta.

Mereka berjanji akan terus mengawal persoalan ini hingga ada kejelasan, keadilan, dan tanggung jawab moral dari semua pihak terkait. 

Gerakan ini diharapkan menjadi pengingat bahwa demokrasi dan budaya hanya hidup bila rakyat berani bersuara. Diam berarti membiarkan kebobrokan tumbuh. Sedangkan bersuara berarti menjaga Lembata tetap bermartabat. 

Karena itu dalam waktu dekat mereka akan menggelar aksi unjuk rasa di DPD dan DPP Partai PDI-Perjuangan menuntut pertanggung jawaban sanksi etik oknum yang cacat moral serta menuntut keadilan atas Dugaan Penyalahgunaan Wewenang khususnya Kasus perekrutan P3K di Kabupaten Lembata yang terindikasi adanya praktik KKN yang dilakukan oleh Frans Gewura selaku Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Lembata, pungkasnya.
Share:

No comments:

Post a Comment

Youtube Kabarmasa Media



Berita Terkini

Cari Berita

Label

Recent Posts